Kamis, 02 Februari 2017

Split

Tense, exciting and a welcome return to form for Shyamalan.

          
              Di kalangan penyuka film-film bermuatan twist mengejutkan, nama M.Night Shyamalan pasti mendapatkan hati khusus. Begitu juga di diri penulis yang tergolong ‘pengikutnya’ dan sejak The Sixth Sense tidak pernah melewatkan film-film karya arahannya. Berbicara Shyamalan sendiri, ia tidak disangsikan lagi merupakan figur yang sangat menarik. Hal ini dikarenakan, jika ada sineas yang bisa dikategorikan dalam dua kutub yang kontras berbeda, pernah mendapat pujian setinggi langit namun juga pernah dicerca habis-habisan atas hasil-hasil penyutradaraannya di Hollywood, rasanya hingga saat ini belum ada yang bisa menandingi anomalitas sineas M. Night Shyamalan. Sineas berdarah India ini di masa awal kariernya sukses menyumbangkan sumbangsih yang luar biasa di ranah perfilman.
 Lewat karya-karya briliannya, film-film dengan kerangka penceritaan cerdas seperti The Sixth Sense, Unbreakable, Signs, dan The Village yang sukses mendobrak batas antara golongan film cult dengan film mainstream, Shyamalan sempat dinobatkan sebagai sineas generasi baru visioner yang sepak terjangnya di ranah perfilman menjadi sorotan banyak kalangan dan hasil kreasi barunya dinanti para penikmat maupun pengamat film dunia.
 Sayangnya, ia kemudian terpeleset, saat menghasilkan karya yang sangat mengecewakan khalayak perfilman dikarenakan dinilai teramat dangkal untuk levelnya, Lady in the Water.  Apalagi selepas itu, reputasinya semakin terpuruk  dengan penurunan drastis  film-film arahannya, terutama dari faktor kualitasnya. Sampai-sampai ia seperti kehilangan sentuhan Raja Midasnya, malah yang terjadi adalah kebalikannya dan nyaris setiap pemberitaan mengenainya selalu berisi perihal kejatuhannya.
Yang pertama, film yang embrionya ia cetuskan dan kembangkan sendiri, The Happening yang sebenarnya menyuguhkan premis menarik namun dinilai banyak kalangan sangat kedodoran di babak konklusinya (meski penulis pribadi tidak sependapat dengan hal ini). Yang kedua, bahkan lebih miris lagi. Keputusannya mentackle proyek live action Avatar: The Last Airbender adalah keputusan paling fatalnya (film terburuk sepanjang karier penyutradaraannya, belum lagi kasus whitewashing-nya yang sangat kontroversial –red). Dan, yang terakhir adalah After Earth yang… Aah sudahlah terlalu malas penulis untuk mengupasnya.

Karya penyutradaraan ke-11 sang sineas, The Visit, meski twist-nya masih tergolong lemah lumayan menuai hasil positif dan sedikit menggugah asa tanda-tanda kebangkitan Shyamalan. Dan lewat karya paling gresnya ini, penulis secara pribadi bisa diyakinkan bahwa sang sineas bakal kembali ke track-nya semula.
Setelah menyuguhkan konsep yang berkenaan dengan arwah gentayangan, manusia super, kedatangan makhluk dari alam lain maupun masyarakat terisolir, ia mengulang kembali tema gangguan kejiwaan manusia yang sebelumnya ia kedepankan di The Visit. Kali ini tema kasus kepribadian ganda yang ia eksplor di sini. Garis besar ceritanya sendiri berisikan polemik yang dihadapi seorang gadis remaja saat ia dan dua rekannya menjadi korban aksi penculikan yang dilakukan seorang pria yang memiliki lebih dari 20 kepribadian berbeda di dalam dirinya. 

Mirip dengan kebanyakan film-film bertemakan kasus penculikan, upaya si korban mencari tahu situasi yang dialami pada dirinya dan berusaha meloloskan diri menjadi titik berat di sini. Namun, dalam mengemasnya, Shyamalan memilih gaya narasi yang cenderung lambat, sehingga unsur drama terasa kental di sini. Seperti film-film arahannya di masa awal kariernya, misteri tebal dan konflik psikologis antar para karakternya dibangun secara perlahan dan tidak terkesan tergesa-gesa. Shyamalan juga sempat bermain-main dengan penonton dengan menghadirkan adegan-adegan jebakan untuk mengelabui penonton yang gemar menebak-nebak cerita. 
Sungguhpun demikian, pilihan gaya narasi yang dipilihnya sukses mencuatkan performa dua pemain karakter utamanya, yang efektif memancing rasa penasaran dan efeknya makin terasa vital seiring lapisan-lapisan misteri yang dikedepankan di film ini mulai terkuak hingga mencapai klimaksnya saat tujuan utama dari film ini memperlihatkan jatidirinya. Dan, yang perlu digarisbawahi di sini, tanpa ingin mengungkap kejutan yang ada… it’s so damn brilliant in terms of movie trend nowadays. Pasalnya, twist kali ini tidak seperti twist-twist yang pernah ia hadirkan sebelum-sebelumnya, namun sebuah twist yang bakal ampuh memaksa audiens mengevaluasi ulang apa yang baru saja disaksikan dan akan membuat penggalaman menonton film ini untuk kedua kalinya menghasilkan perspektif yang sama sekali berbeda. 

Dari sektor pemainnya, Split berhasil memperlihatkan kualitas akting James McAvoy dalam memainkan tokoh dengan beragam karakter dengan begitu meyakinkan. Bahkan, kalau mau jujur, film ini boleh dikatakan milik McAvoy seorang, meski performa Anya Taylor-Joy (The Witch, Morgan) juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja.     
Secara keseluruhan dan jika dibandingkan dengan keseluruhan karya Shyamalan lainnya, harus diakui, sebenarnya Split yang diproduksi secara micro budget (hanya $9 juta) ini sebenarnya tidak terlalu luar biasa dari segi penuangan kisahnya, namun plintiran twist istimewa yang dilakukan sang sineas itulah yang membuat sajian berdurasi ini 117 menit ini menjadi signifikan. Lewat Split, Shyamalan tidak hanya berhasil menunjukkan bahwa kariernya jauh dari kata habis namun juga menyuguhkan probabilitas proyek masa depan yang akan sangat menarik jika ternyata di kemudian hari benar-benar ia realisasikan. 

(Universal Pictures)
Indonesian Release date: February 15, 2017 
Directed by: M. Night Shyamalan
Starring: James McAvoy, Anya Taylor-Joy, Jessica Sula, Haley Lu Robertson,
Genre: Drama, Psychology thriller
Running time: 117 minutes

 

 

Selasa, 24 Januari 2017

xXx: Return of the Xander Cage





So Bad It Is Good


            Agen rahasia Amerika Xander Cage akhirnya kembali beraksi. Semua pasti setuju saat xXx pertama kali hadir pada tahun 2002, film aksi yang dibintangi oleh Vin Diesel sebagai pencandu olahraga ekstrem yang kemudian direkrut organisasi intelejen pemerintah ini tidak ubahnya tokoh tandingan bagi agen rahasia legendaris James Bond. Bedanya, Cage lebih diperuntukkan bagi kalangan generasi MTV yang pada masa itu identik dengan budaya pop dan nyeleneh-nya. Betapa tidak, tampilan sosoknya menyalahi patron tokoh agen rahasia pada umumnya, yang lebih sering digambarkan berpenampilan necis dan berdandan rapi, di sini sang tokoh adalah seorang badboy pelanggar hukum, dengan tubuh berhiaskan banyak tato, dan gemar bersumpah serapah khas anak muda. Itu dari segi karakternya.

            Sementara itu dari segi paket hiburannya, apa yang dihadirkan dalam film arahan Rob Cohen ini bisa dibilang mampu melibas franchise pembandingnya itu, di mana rangkaian aksi yang dihadirkan di film ini ibarat kompilasi nyaris seluruh adegan aksi yang pernah hadir di film Bond, namun semuanya itu dilipat levelnya menjadi tahap yang lebih wah lagi hingga menjurus absurd dengan misi memberikan kepuasan menonton film aksi yang maksimal. Dan, memang hasilnya sangat sepadan, xXx berhasil menjadi film aksi no brainer yang sangat laris. Sehingga hal itu sempat menginisiasi kemunculan film lanjutannya, xXx: State of the Union. Sayangnya, minus sang bintang utamanya, Vin Diesel, film sekuelnya tersebut harus menghadapi kenyataan pahit, gagal mengulang kesuksesan. Hal ini setidaknya mengembuskan dugaan sementara, bahwa sedikit banyak faktor Vind Diesel adalah aspek integral yang tidak bisa dihilangkan dari saga tersebut.


           Di luar perkiraan, saga ini bangkit kembali setelah hak kepemilikannya berpindah tangan dari Columbia ke Paramount. Di tangan pemilik barunya inilah, Vin Diesel yang sudah mengantungi satu franchise film sukses di mana dirinya menjadi faktor major-nya, yakni Fast and Furious setuju untuk menapak tilas karakter xXx. Sang aktor sepertinya paham benar bahwa kualitas bintang yang dimilikinya akan memberikan pengaruh besar jika ia ingin xXx memiliki umur panjang di ranah layar perak. Dan memang, upaya yang dilakukan untuk goal itu sangatlah keras, terlalu keras memang.
            Pasalnya, di installment ketiganya yang kali ini dibidani oleh DJ Caruso (Disturbia, Eagle Eye, I am Number Four) kadar aksi yang dihadirkan lebih absurd lagi, yang mungkin bisa membuat penonton terpingkal-pingkal atau bahkan geli karena menjurus konyol. Contohnya saat sang tokoh melakukan aksi meluncur dengan peralatan ski ...di hutan.  Masuk akalkah? Tak perlu masuk akal. Jadi, lupakan logika saat menontonnya.

  
            Memadukan unsur adegan aksi yang lebih absurd dari yang dihadirkan sebelum-sebelumnya terutama dalam mengeksploitasi kebintangan Vin Diesel, komedi (dengan menghadirkan bintang sepakbola Brasil, Neymar Jr.), kumpulan bintang Asia terkemuka (yang ketiganya masing-masing dimainkan tiga bintang Asia terkemuka, Donnie Yen – Tony Jaa – Deepika Padukone), dan muka-muka baru yang sedianya akan menjadi tokoh kunci kedepannya (jika dapat lampu hijau untuk kelanjutannya), sedikit banyak membuat xXx: Return of Xander Cage tidak ubahnya upaya Diesel mentransformasi saga ini untuk menjadi franchise Fast and Furious baru dengan sentuhan kental ala Mission: Impossible yang disuntikkan padanya. Belum lagi ada faktor kejutan yang akan lebih terasa menggigit untuk disaksikan secara langsung, sekaligus menjadi penyambung benang merah keseluruhan installment-nya layak mendapat apresiasi tersendiri. 

 
Secara keseluruhan sajian yang dibesut oleh Caruso ini sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru, dan bahkan malah menjadikan xXx pertama yang dulu dibesut Rob Cohen terasa tidak ubahnya sebuah masterpiece. Namun sungguhpun demikian, tujuan Diesel – Caruso beserta timnya untuk memperpanjang nyawa sepak terjang sang agen rahasia nyentrik ini sepertinya bakal tercapai. Karena nyatanya, film ini memang konyol namun cool, usang namun menyegarkan, dan penceritaannya amburadul namun sangat menghibur. 




(Paramount Pictures)
US Release date: 
Directed by: DJ Caruso
Starring: Vin Diesel, Deepika Padukone, Donnie Yen, Tony Jaa, Nina Dobrev, Rory McCann, Samuel L. Jackson
Genre: Action, Comedy, Drama
Running time: 110 minutes